SELAMAT DATANG KE BLOG MUTIARA SABAH! I WISH YOU ALL THE BEST AND HAPPY NEW YEAR 2024!

Saturday, 31 August 2019

Majlis tahlil & Kenduri arwah

Views


SEJARAH LAHIRNYA TAHLIL DALAM UPACARA KEMATIAN

Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di Pulau Jawa adalah para ulama yang berjumlah Sembilan yang popular dengan sebuatan Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak, Jawa Tengah. Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang majoriti penduduknya beragama Hindu dan Buddha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam. Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.

ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain. Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Buddha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam menerusi aliran ini, harus membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH. Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Djati.

Ziarah kubur, hikmah, manfaat dan tuntunannya
Aliran ini sangat sederhana, mereka membiarkan pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah menjadi darah daging dan sukar dibuang yang penting mereka mahu memeluk Islam. Agar mereka tidak terlalu jauh menyimpang dari syari'at Islam maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Buddha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena sederhananya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang "radikal". Aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampuradukan syari'at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dilabel sebagai aliran Islam abangan. Dengan ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tatacara pelaksanaan qurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil. Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian iaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu sementara Hafiryayajna untuk semua orang. Hafiryayajna terbagi menjadi empat bahagian iaitu Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Amalan yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna iaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.

Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, mereka berkeyakinan bahwa manusia setelah mati sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali ke dunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang, batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain seperti perbuatannya selama hidup dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka daripada itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya. Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, iaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.

Musyawarah Para Wali
Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sukar dibuang termasuk upacara Pinda Pitre Yajna diwarnai unsur keislaman. Usaha tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu bahwa upacara kematian adat lama sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh berwibawa itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali menjadi ketua musyawarah mengajukan pertanyaan, "Apakah tidak dikhuatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid'ah"?. Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut, "Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga".
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui tetapi majoriti anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga maka hal tersebut terjadi seperti yang dirancang. 

Mulai saat itulah secara rasmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus dan nyewu. Kesan daripada strategi aliran Tuban maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka tidaklah hairan muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat luas untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut "MANUNGALING KAULA GUSTI" yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat solat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.

Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar di pelbagai tempat. Oleh itu, kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang. Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja Islam dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari'at Islam yang murni. Namun, tindakan tersebut mendapat kecaman dan ancaman daripada para raja Islam pada waktu itu kerna raja-raja Islam majoriti menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri. Pada masa kerajaan Islam di Jawa di bawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan  Surakarta sebanyak 7 000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang AmangkuratI. 

Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Dia bekerjasama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan bahkan semua keturunan Sunan Giri. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup ketika itu adalah ulama-ulama yang lunak (sederhana) yang ingin menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. Oleh hal yang demikian bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian. Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam daripada sumbernya iaitu Al Qur'an dan As Sunnah kerana beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyarakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits. 

Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Namun, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri yang ternyata tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu seperti upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus dan nyewu. Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain, "Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang caranya seperti yang dikenal dalam masyarakat". Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang. Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Di negara-negara lain seperti Arab, Mesir dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.

Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan boleh mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang amalan tersebut bermaksud melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam bahkan tidak mau belajar ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita sebagai Muslim pula yang beria-ia membenarkan keyakinan terhadap ajaran mereka? Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang jelas terang berada di landasan yang benar. Kenapa harus ditambah-tambah? Mereka beranggapan ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masih kurang sempurna. Penulis berharap setelah kita tahu sejarah wujudnya amalan tahlil, kita mendapat hidayah untuk menerima kebenaran yang hakiki dan mudah-mudahan akan menjadi Muslim yang tegak di atas ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Sumber daripada internet yang telah diringkaskan oleh Penulis.

No comments:

Post a Comment

Hmm, komen yang murni-murni saja ya

TIDAK DIBENARKAN melakukan apa-apa suntingan kedua tanpa KEBENARAN oleh sabahsentiasadihati.blogspot.com