MENGENAL
HAKEKAT SUFI (TASAWUF)
Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal
di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat
diagungkan dan sinonim dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan majoriti
orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa
tanpa melalui jalan tasawuf. Pendapat ini diperkuat dengan melihat penampilan
lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli
tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di
tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin
menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang
benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala. Sebelum kami
membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan
kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma di lihat
dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi
barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As
Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih.
LAHIRNYA
AJARAN TASAWUF
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak
dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman
tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’Ut tabi’in).
Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash
Shufiyyah hal. 14). Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafaz ini tidak
dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafaz ini baru dikenal dan
dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa
orang imam dan syaikh yang membicarakan lafaz ini, seperti Imam Ahmad bin
Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya dan juga diriwayatkan dari
Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafaz ini dan ada juga yang
meriwayatkan dari Hasan Al Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran
ini pertama kali muncul di Kota Bashrah,
Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan
ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa,
11/6). Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya
diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang
menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan
mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian sehingga orang-orang awam yang
cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat
zuhud dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena
melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.
(Talbis Iblis hal 161).
Dan berkata DR.
Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal.
17) “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani yang
mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara
pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di
seluruh penjuru dunia padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid
yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat
jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh
Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).
Dan berkata Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar
hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu
maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan
dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu
perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan
As Sunnah.
Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan
cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang
mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa
jalla bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan
dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu,
peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya
“Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas,
jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini
terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf,
amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk Islam. Dan yang kami maksudkan di
sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang yang banyak melakukan
kesesatan dan kebohongan dalam agama namun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan
mereka masih di landasan yang benar seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid,
Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan
Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15).
Prinsip-Prinsip
dasar ajaran Tasawuf yang menyimpang dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah.
Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh
Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif
Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.17-38) dengan sedikit perubahan. Orang-orang ahli Tasawuf khususnya yang ada di
zaman sekarang mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan
menjalankan agama ini yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode
Ahlusunnah wal Jamaah. Kaedah mereka menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan
As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tatacara peribadatan mereka di atas symbol-simbol
dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri seperti berikut:
Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan
aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan),
sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku
beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga
dan juga bukan karena takut masuk neraka!?”. Memang benar bahwa aspek Mahabbah
adalah landasan berdirinya ibadah tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada
aspek Mahabbah saja sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf
karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain
aspek Mahabbah seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’
(ketundukkan) doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata:
“Barang siapa
yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia
adalah seorang zindiq dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan
pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah dan barang siapa yang
beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah
seorang Haruriyyah (Khawarij) dan barang siapa yang beribadah kepada Allah
‘azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang
mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.
Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji sifat
para Nabi dan Rasul-Nya yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan
perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari
jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap
zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk
dari Al Quran dan As Sunnah. Sebenarnya, mereka terjerumus ke dalam kesesatan
seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai
Allah yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan
untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya dan
penyimpangan-penyimpangan lainnya” (Kitab Al ‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah (hal. 90), cet. Darul Ifta’, Riyadh). Dari huraian di atas
jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut
ibadah bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan
bahkan menyebabkan dia keluar dari agama Islam.
Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah
tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah tapi yang mereka jadikan
pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh
pimpinan-pimpinan mereka berupa Thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir
dan wirid yang mereka ciptakan sendiri dan tidak jarang mereka mengambil
pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan
hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah
landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf jaman now.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang
ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla
berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh
orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya dan
cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya
kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang
(Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan
orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka
sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang
Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat
syariat agama bagi mereka”.
Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi
zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru
thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan
zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa
jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa
membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka
menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”.
Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran
dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat
(Laa Ilaha Illallah ) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum” adapun
“zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya
orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/ Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa
Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus
adalah kata tunggal “Allah” serta dzikirnya orang-orang khusus yang lebih
khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan
menyesatkan.
Di antara mereka ada yang berdalil untuk
membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
قُلِ
اللّهُ
ثُمَّ
ذَرْهُمْ
فِي
خَوْضِهِمْ
يَلْعَبُونَ
“Katakan:
Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada
mereka) biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’aam: 91).
(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah
kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf bahkan
ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena
sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah
untuk menjawab pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam
firman-Nya:
وَمَا
قَدَرُواْ
اللّهَ
حَقَّ
قَدْرِهِ
إِذْ
قَالُواْ
مَا
أَنزَلَ
اللّهُ
عَلَىبَشَرٍ
مِّن
شَيْءٍ
قُلْ
مَنْ
أَنزَلَ
الْكِتَابَ
الَّذِي
جَاء
بِهِ
مُوسَى
نُوراًوَهُدًى
لِّلنَّاسِ
تَجْعَلُونَهُ
قَرَاطِيسَ
تُبْدُونَهَا
وَتُخْفُونَ
كَثِيراًوَعُلِّمْتُم
مَّا
لَمْ
تَعْلَمُواْ
أَنتُمْ
وَلاَ
آبَاؤُكُمْ
قُلِ
اللّهُ
“Katakanlah:
Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya
dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang
terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian
besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu
tidak mengetahuinya?, katakanlah: Allah (yang menurunkannya)” (QS. Al
An’aam:91).
Jadi maknanya yang benar adalah:
“Katakanlah:
Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa
shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.117)
Keempat, sikap
Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap
orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang
bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah kerana di antara prinsip
aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada
orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah
‘azza wa jalla.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya
wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk
(kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55).
Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:
يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُوا
لَا
تَتَّخِذُوا
عَدُوِّي
وَعَدُوَّكُمْ
أَوْلِيَاءتُلْقُونَ
إِلَيْهِم
بِالْمَوَدَّةِ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah:1).
Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah
orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dan merupakan
kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu
ditegaskan di sini bahwa darjat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada
orang-orang tertentu bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah
wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘azza
wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah
makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka menurut pemahaman
Ahlusunnah wal Jamaah.
Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf
sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah kerana orang-orang ahli
Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan
dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini sehingga mereka
menobatkan darjat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dalil dari
syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang
mereka menobatkan darjat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan
ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam
keimanannya seperti orang yang melakukan praktik perdukunan, sihir dan
menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Kadang-kadang
mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”
melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ucapan
salah seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam Barzakh
Sedikit di atas kedudukan Rasul dan di bawah
kedudukan wali Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali
mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa
wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata “…Kamu akan dapati majoriti orang-orang ahli
Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya kerana orang tersebut mampu
menyingkap tabir dalam suatu masalah atau orang tersebut melakukan sesuatu yang
di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu
mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang
berjalan di atas air, mengisi cawan dari udara dengan air sampai penuh, ketika
ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah
dia mati maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahukan
tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang ghaib (tidak
nampak) atau orang yang sakit. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama
sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla.
Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa
sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara
atau berjalan di atas air maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan
tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati
perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh
karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang Muslim pun yang menganggap
bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya)
bisa terbang di udara?) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini boleh
dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik dan
bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin maka sama
sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di
atas adalah wali Allah”. (Majmu’ Al Fatwa, 11/215).
Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf
tidak sampai di sini saja karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan
melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai
“wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki
sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta
ini, mengetahui hal-hal yang ghaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta
pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan
kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan
mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai
sembahan selain Allah ‘azza wa jalla dengan membangun kuburan “para wali”
tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan
berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi
kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur
dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.
Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat
adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah
‘azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan,
yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash
Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah
dipraktekkan pada majoriti thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta
perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka di mana para pengikut thariqat
berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh
lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita sedangkan para murid senior
dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok dan para tokoh senior
beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang
terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.
Demikianlah kesesatan-kesesatan ajaran Sufi
(tasawuf), penyimpangan-penyimpangan aqidah mereka yang jauh dari tuntunan
Al-qur'an & As-sunnah. Semoga Allah ta a'la melindungi kita dari kesesatan
ajaran ini dan memberi kita taufiq ke jalan yang lurus yaitu jalan yang telah
di tempuh oleh Rasulullah ﷺ
dan para sahabat beliau (salafus salih). Walaubagaimanapun, terdapat juga tokoh ilmu
tasawwuf yang memang benar dan berlandaskan prinsip dan ajaran Ahlus Sunnah wal
jama’ah. Berikut merupakan antara Tokoh Ilmu Tasawuf yang mencapat darjat
sebenar mengikut ajaran Al Quran dan Sunnah Nabi saw.
v 642M – 728M:
Sa’id Al Hassan Ibn Abi Al Hassan (Hassan Al Basri, Parsi)
v 713M – 801M:
Rabi’ah Al Adawiyah Binti Ismail Al Adawiyah Al Basariyah (Parsi)
v 796M – 856M:
Abu Al – Faidi Tsauban bin Ibrahim Dzu Al Nun Qibty (Mesir, Zun Nun Al – Misri)
v 858M – 922M:
Mansur Al – Hallaj (Iran)
v 874M – 947M:
Abu Yazid Al – Bustami (Parsi)
v 986M – 1 074M:
Abul Qasim’Abdul Karim bin Hawazin bin ‘Abdul Malik bin Talhah bin Muhammad Al –
Qusayairi An – Naisaburi Asy – Syaf’i (Al Qusyairi, Naisabur Iran).
v 1 058M – 1 111M:
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al Ghazali (Imam Al Ghazali, Parsi)
v 1 165M – 1 240M:
Muhi Al – Din Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abd
Allah Al – Haitmi At – Ta’i (Muhy Al – Din Ibnu ‘Araby).
No comments:
Post a Comment
Hmm, komen yang murni-murni saja ya